
Habis waktu isya, hujan deras dari siang sudah beralih ke gerimis. Jas Hujan masih basah banget dan aku pikir, keluar deket dari mess jadi ga perlu bawa jas hujan. Jaket penahan dingin, sebagai teman keluar mencari makan malam waktu.
Makan apa? ha...ha...ha...., kayak bukan pertanyaan mahasiswa, tapi model pertanyaan eksekutif muda yang lagi banyak duitnya. Padahal di dompet, ...ga ada merah, hanya tinggal beberapa recehan yang selalu setia pada tanggal tua atau muda. Kenapa merah ga mau mampir, mungkin dia takut kesepian karena ga ada temannya. Yah...logika gitulah.
Supra 125 mulai melaju, aku ingin makan yang hangat dan makan di dipinggir jalan. Sekali lagi bukan pengen melakukan akrobat politik, biar dianggep wong cilik......tapi memang bener- bener kawula alit. Selain itu di saat seperti ini merekalah yang pantas untuk di beli.....karena mereka yang paling butuh untuk keluarga mereka, karena mereka ........banyak sekali karena dalam otakku. tapi aku takut tulisan ini malah jadi lebay.
Melewati lampu lalu lintas deket masjid undip, gerimis kecil...mulai tumbuh menjadi gerimis yang bisa bikin basah. Akhirnya...aku berhenti di gerobag nasi goreng depan polines yang paling sepi. Bodo amat dengan aturan umum, klo sepi biasanya ga enak. Tapi bagiku kalau sepi akan ada banyak cerita menarik yang akan menjadi pelajaran bagi kita.
Berjajar 3 kursi plastik, kanan gerobak. dua diantaranya mulai rusak yang berwarna merah. Pohon besar dan rimbun yang menaungi gerobak, seperti payung besar yang melindungi kami. Gelap iya....hanya ada 2 buah lampu LED kecil di gerobak itu. Sang penjual kelihatannya masih muda......., kalimat pertama yang muncul dalam benakku: Apa yang dipikirkan beliau ditengah malam yang dingin ini, sebuah keyakinan kah? atau kegelisahan?.
Beliau bertanya " makan sini atau bungkus?". aku minta dibungkus aja. Beliau berasal dari purwodadi. Sebuah kota yang di deket semarang, kudus....tapi menurut banyak orang orang. Seperti sebuah negeri yang jauh, dan belum mendapat limpahan kue manis dari majunya semarang atau kudus. Sebuah negeri yang terkenal dengan swuke kodoknya, jadi kata purwodadi ini, identik dengan swukenya...
Seperti pendatang lainnya, dia berharap kue manis dari hidup menjadi pedagang di semarang. Dia merasa menjadi pedagang nasi goreng adalah kebiasaan yang dia punya. Setiap malam dia berada di situ sampai jam 1 malam, yah...tentu dengan hasil yang tidak menentu. Tempat tinggal yang nyaman bukan impian bagi dia, asal bisa tidur dan melepas penat dan mendapat sedikit keuntungan. itu sudah berkah luar biasanya baginya.
Karena dalam keuntungan itu ........ada senyuman untuk anak dan istrinya. Sebagai suami, kedinginan dan kelaparan dalam mencari rizeki adalah biasa, dan itu bukan kesedihan. Sedih baginya adalah mendapati tak ada yang akan dibawa pulang dari hasil perniagaannya.
Yah...itu makna lelaki baginya, bukan mengeluh....tapi selalu yakin akan kebesaran Tuhan dalam dingin malam di pinggir jalan. Selalu ada harapan....harapan dan harapan...
Terakhir aku..........jadi ingat orang tuaku, inget bapakku. Dari tangan kasar mereka mengolah mie sampai jam 2 pagi, seperti inilah aku sekarang. Aku menjadi bertanya sambil menanti nasi goreng selesai di masak..." Bapak..mungkin engkau tidak pernah meminta sesuatu, tapi...kapan aku bisa setidaknya membalas sedikit keringatmu yang menetes dalam gelap malam, atau kesedihanmu saat aku dulu meminta padahal engkau tidak memiliki uang membelinya. Maafkan aku....................".
Ya Allah, Ampunilah mereka kedua orang tuaku, Rahmatilah mereka dan sayangilah mereka mereka menyayangiku dari waktu aku bayi sampai sekarang. Aamiin.
Tembalang, 20 Des 2017.
Agus...............